PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENTAL DALAM ISLAM
PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENTAL DALAM ISLAM
KTI
Dosen : Nur Amaliah
IBNU AQIL
NIM :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
( STAI DDI PARE-PARE )
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesehatan Mental
B. Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa
C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
D. Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan
dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental
1. Metode Imaniah
2. Metode Islamiah
3. Metode Ihsaniah
E. Prinsip-Prinsip Islam Untuk
Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa
F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam
Islam
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
tulisannya, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru
besar Fakultas
Psikologi UI mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran
kesehatan jiwa,
yakni1: 1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyaI
keluhan tertentu,
seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak
berguna, yang
semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak sehat’ serta
mengganggu efisiensi
kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di dunia kedokteran
2) Orientasi
Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu
mengembangkan dirinya
sesuai dengan tuntunan orang-orang lain serta lingkungan
sekitarnya; 3)
Orientasi Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf
kesehatan jiwa, bila
ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya
menuju kedewasaan
sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Terdapat
empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli2: 1)Kesehatan
mental adalah
terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala
penyakit jiwa
(psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya
sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia hidup;
3)Kesehatan mental
adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema
yang biasa terjadi,
serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik);
4)Kesehatan adalah pengetahuan
dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan
dan memanfaatkan potensi,
bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga
membawa kebahagiaan diri dan orang lain, serta
terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa;
5)Kesehatan mental
adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-
fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
lingkungannya,
berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai
hidup yang bermakna
dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kesehatan Mental
Istilah
Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal
daribahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna
dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa,
jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
kesehatan mental.
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial)
(Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan
kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1.
Terhindarnya orang dari
gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa
(psychose).
2.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana
ia hidup.
3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan pada diri
dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
1.
Terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan
dan kemampuan dirinya.
Seseorang dapat dikatakan sehat
tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis ,dan sosial saja, tetapi
juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang disebut
Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu: bio-psiko-
sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup hanya
terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik
neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana seseorang itu
mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu
mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup
termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan
potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang sehat tidak akan mudah
terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental
sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya
sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri
orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan
dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan
(Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor
genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas
stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan
mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional
kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia
itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson3 lebih lanjut menyebutkan enam
indikator normalitas kejiwaan seseorang.
Pertama,
persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya
dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir
negatif terhadap orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri
sendiri.
Kedua,
mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang
memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun
yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
Ketiga,
kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu yang normal
memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya.
Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas
dari segala tindakan impulsif dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka
ia menyadari dan berusaha menekan dorongan seksual dan agresifnya.
Keempat, harga
diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh
penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di
sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi atau
mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
Kelima,
kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat membentuk
jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan
orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu
yang abnormal terlalu mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).
Keenam,
produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya
dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif.
B. Pola-pola
Wawasan Kesehatan Jiwa
Musthafa
Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud,4 menemukan dua
pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy),
bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al- amradh
al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif
(ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian
terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas
dibanding dengan pola pertama.
Hanna
Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan
mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuaian diri, pola pengembangan
potensi, dan pola agama.5 Pertama, pola simtomatis adalah pola yang berkaitan
dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants), gangguan atau penyakit
nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya seseorang dari segala gejala,
keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis. Kedua, pola
penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam
memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. Atau memenuhi
kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti
kemampuan seseorang untuk meyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya.
Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani
(human qualities) seperti kreativitas, produktivitas, kecerdasan, tanggung
jawab, dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk
memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia
memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat, pola
agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan mental adalah
kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan hak dengan
landasan keimanan dan ketakwaan.
Kesehatan
mental yang dimaksudkan di sini lebih terfokus pada kesehatan mental yang
berwawasan agama. Pemilihan ini selain karena konsisten denga pola-pola yang dikembangkan
dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah Islam yang berkembang.
Ibn Rusyd misalnya dalam “Fashl al-Maqal” menyatakan, “takwa itu merupakan
kesehatan mental (shihah al-nufus)”.6 Statement itu menunjukkan bahwa dialektika
kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau
harus dijadikan sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.
Empat
pola wawasan kesehatan jiwa dengan orientasinya sebagai berikut7:
1. Pola
wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symtomps)
dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang
diderita seseorang.
2. Pola
wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang
untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondiri jiwa yang sehat.
3. Pola
wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi bertolak dari
pandangan
bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai
potensi dan
kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas, rasa
humor, rasa
tanggung jawab, kecerdasan, dll dan mendatangkan manfaat bila
dikembangkan
secara optimal.
4. Pola
wawasan yang berorientasi agama berpandangan bahwa agama atau keruhanian memiliki
daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa dan kesehatan jiwa diperoleh sebagai
akibat dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan
keagamaan yang hidup.
Tuntunan
agama Islam untuk kesehatan mental dikemukakan dalam dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat
al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan
mental.
2.
Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan
mengembangan
kesehatan mental pada khususnya.
C.
Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat
tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan
mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua,
metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam
dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode
pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan
kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral
atau etika.
1.Metode
Imaniah
Iman secara harfiah diartikan
dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al- amanah). Orang yang beriman
berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi
semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT memberikan
rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia
dan akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama,
jalur tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian
petunjuk itu dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut
jalur Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan
isinya yang disebut dengan jalur kauniyah atau sunnatulah.
Keimanan yang direalisasikan
secara benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6 karakter yaitu:
a. Karakter
Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan mengamalkan)
sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada
kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya ditempuh melalui tiga
tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq8. Proses ta’alluq adalah menggantungkan
kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan berzikir
kepadaNya (QS. Ali-Imran:191). Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk
menginternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata
sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya fitrah
menusia yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah kesadaran
diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga tingka
lakunya didominasi olehNya.
b. Karakter
Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat yang
agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya menjalankan perintahNya dan tidak
berbuat maksiat (QS. Al-Tahrim: 6), bertasbih kepadaNya (QS. Al-Zumar: 75), menyampaikan
informasi kepada yang lain (QS. Al-Nahl: 102), membagi-bagikan rizki untuk
kesejahteraan berama dan memelihara kebun (Jannat) yang indah (QS. Ar- Ra’d:
24).
c. Karakter
Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani dalam
tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca, memahami dan
mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
d. Karakter
Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul yang
mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat dipercaya
(al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh) dan cerdas (al-Fathonah).
e. Karakter
yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang menghendaki adanya
karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek atau wawasan
masa depan daripada masa kini (QS. al-Dhuha: 4), bertanggung jawab (QS.
al-Nisaa’: 77).
f. Karakter
Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada
hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk kemaslahatan
hidupnya.
2.
Metode Islamiah
Islam
secara etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al- silm),
perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah)9. Realisasi
metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong seseorang
untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi
yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim
membentuk lima karakter ideal.
a. Karakter
syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari
segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi dan
hawa nafsu (QS. Al-Furqon: 43). Lalu mengisi diri sepenuh hati hanya kepada Allah
SWT.
b. Karakter
mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan dengan
sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan kominukasi
ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki adanya
kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan dalam
kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.
c. Karakter
muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan
kesucian jiwanya (QS. al-Taubah: 103), serta pemerataan kesejahteraan ummat
pada umumnya.
d. Karakter
sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu
rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah maka ia berusaha
mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
e. Karakter
hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi
memenuhi panggilan Allah SWT.
3.
Metode Ihsaniah
Ihsan
secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang mengetahui
hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan dengan
niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan kepribadian
muhsin yang ditempuh dalam beberapa tahapan10, yaitu:
a. Tahapan
permulaan (al-bidayah) Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia
sadar dalamkerinduan itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya
sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli
yaitu mengosongkan diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
b. Tahapan
kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat) Tahapan ini kepribadian
seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu berusaha
secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik yang
disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan
sifat- sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu:
1) taubat dari
segala tngkah laku yang mengandung dosa.
2) menjaga
diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’).
3) tidak
terikat oleh gemerlapan materi.
4) merasa
butuh pada Allah (al-faqr).
5) sabar terhadap
cobaan dan melaksanakan kebajikan.
6) tawakkal
pada putusan Allah.
7) ridha
terhadap pemberian Allah.
8) merasa
bersyukur atas nikmay yang Allah Berikan.
9) ikhlas
melakukan apa saja demi Allah.
10) takut
(al-khauf) dan berharap (al-raja) terhadap Allah.
11) kontinue
dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah).
12) takwa
kepada Allah.
13) jujur,
berpikir, berzikir dan sebagainya.
Tahapan ini
harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik yaitu:
Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi
diri sendiri.
Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar
selalu dekat kepada Allah.
Muhasabah, yaitu membuat perhitungan
terhadap tingkah laku yang diperbuat.
Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena
melakukan keburukan.
Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi
baik.
Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya.
Mukasyafah, yaitu membuka
penghalang atau tabir agar tersingkap semua rahasia Allah.
c. Tahapan
merasakan (al-Muziqat)
Pada
tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi
larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan denganNya.
Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya
setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan
ini biasa dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang mampu
menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan
tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al- fana.
Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan tetapnya
sifat-sifat ketuhanan11. Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul apa yang
disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai kebahagiaan
tertinggi yang dicita-citakan.
D.
Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental
Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Beberapa Sifat
Tercela (Mazmumah)
Sifat-sifat
tercela secara tidak langsung atau langsung dapat menimbulkan gangguan dan
penyakit kejiwaan yang dalam tulisan ini dibatasi enam sifat tercela, yaitu:
Bakhil, Aniaya, Dengki, Ujub, Nifak dan Ghadhab.
1)
Bakhil
Bakhil
artinya kikir, yaitu ketidaksediaan untuk memberikan sebagian hartanya kepada
pihak-pihak lain yang membutuhkan seprti, fakir miskin, kepentingan umum, agama
dan lain-lain. Di lain pihak, orang bakhil biasanya tidak pernah puas mengumpulkan
harta benda. Ayat Al Qur’an mengenai perbuatan bakhil: (QS. Muhammad: 38)
’Ingatlah,
kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah.
Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini).
2)
Aniaya
Aniaya
adalah perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan serta menimbulkan kerugian
pada diri sendiri dan orang lain serta menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya.
Ayat Al Qur’an mengenai aniaya: (QS. Yunus: 44)
‘Sesungguhnya
Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah
yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.
3)
Dengki
Dengki
artinya tidak senang melhat orang lain memperoleh keberuntungan kebajikan. Orang-orang
dengki senantiasa mengharapkan bahkan berupaya agar keberuntungan yang diperoleh
orang lain hilang ayau jatuh kepada si pendengki itu sendiri. Ayat Al Qur’an mengenai
dengki: (QS. Al-Baqarah:109)
‘Sebahagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
4) Ujub
Ujub artinya
membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri dan perasaan puas karenanya,
dengan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Ayat Al-Qur’an mengenai
ujub: (QS. AL-Fathir:8)
‘Maka apakah
orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia
meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?
maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki
siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’
5) Nifak
Nifak
artinya bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi karakteristik orang munafik.
Ayat Al Qur’an mengenai nifak: (QS. Al-Baqarah: 8)
’Di antara
manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman.
6)
Ghadhab
Ghadhab
diartikan secara khusus sebagai marah atau kemarahan dalam konotasi negatif dan
berlebihan, sedangkan secara umum diartikan sebagai al nafsu al ammarah bissu’ yang
selalu mendorong perbuatan jahat sehingga mengakibatkan kerugian pada diri
sendiri dan orang lain. Ayat Al Qur’an mengenai ghadhab: (QS. Yusuf: 53)
‘Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan
Pentingnya Agama Untuk Kesehatan Mental
Sudah tentu
semua ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya agama untuk keselamatan hidup
di dunia dan akhirat, termasuk meraih jiwa yang sehat. Zakiah Daradjat dalam
tulisan-tulisannya mengenai Agama dan Kesehatan Jiwa menunjukkan pengaruh positif
dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam terhadap kondisi kesehatan mental.
Mengingat
masalah agama merupakan masalah yang sangat luas dan kompleks, maka tulisan ini
hanya mengungkapkan ayat-ayat di Al Qur’an yang berkaitan dengan tiga pilar agama
Islam, yaitu: iman (akidah), Islam (syari’ah), dan Ihsan (akhlak).
E.
Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa
Dalam
Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada
umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by
product) dari kondosi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan
sosial, terutama matang pula keimanan dan ketetakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian dalam Islam nyatalah betapa pentingnya pengembangan pribadi
untuk meraih kualitas insan paripurna yang didalam otaknya sarat dengan ilmu
pengetahuan, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah SWT, sikap
dan perilakunya benar-benar merealisasikan nila-nilai keislaman yang mantap
dsan teguh, wataknya terpuji, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih
sayang.
Cara
peningkatan kualitas pribadi yang sedikit mendekati tipe ideal:
Hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar
untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang
bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai akidah, syari’ah dan akhlak, serta
berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
Melakukan latihan intensif
yang bercorak Psiko-edukatif. Dengan ini, diharapkan para peserta sadar diri
akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri, menemukan arti dan
tujuan hidupnya serta menyadari serta menghayati betapa pentingnya menigkatkan
diri.
Pelatihan disiplin diri yang
lebih berorientasi spiritual-religius, yakni mengintensifkan dan meningkatkan
kualitas ibadah.
F. Tanda-Tanda
Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda
kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam,12
yaitu: pertama, kemapanan (al-sakinah), ketenangan
(al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik
kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa
Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang berarti
manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw ‘iyal
al-dar (penduduk desa atau negara).13 Dari pengertian semantik ini, kata
“sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau
wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah” juga
memilikii arti al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan
al- rahmah yang berarti kasih sayang. Atau dalam bahasa Inggris berarti
calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan
serenity (ketenteraman). Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi arti “sakinah”
dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari
segala kecemasan (al-qalaq/anxiety) dan kesulitan atau kesempitan batin
(al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau
peperangan, rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia) dan
kesedihan dari jiwa.Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan
oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar
keimanan dan keyakinannya bertambah.
Pengertian
“ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak
bergerak,
sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti
orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah
memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan
berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman Allah
SWT:
’Dia-lah yang
telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata
thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu
pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah
sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran
itu menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
‘(yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu
Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah.
Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah,
bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa
sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan
bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup
ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan
dari rasa takut.
Sedangkan
rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan
batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan
pekerjaan yang amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika
ia dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa,
kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan
tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi
segera melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan
jiwa, seperti karena tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan
dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan
obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan
yang sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi
rileks memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih
laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui
dan mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk
biang-biang dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan
elemen-elemen jahat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa
karena maksiat, maka elemen- elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk
komposisi tubuh yang gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan.
Dosa adalah apa yang dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi
mental yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu:
(1) adanya kemampuan individu dalam menghadapi
perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah
itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah:156); bersikap
bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang
memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk (QS.
Al-Baqarah:216).
(2) kemampuan individu dalam bersabar
menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan
dan kemiskinan (QS. al-Baqarah:155)
(3) kemampuan individu untuk optimis dan
menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan
datang kemudahan (QS. al- Insyirah:4-5).
Kedua,
memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan,
dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu
merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa menduduki
jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal
itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit
mental. Firman Allah SWT : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari
apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak
bersyukur?” (QS. Yasin:35). Sabda Nabi SAW: “makanan yang lebih baik dimakan
oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab
Nabi Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Ketiga,
menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya
adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi
fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan itu merupakan
anugerah (fadhl) dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah
Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu:
(1) bersifat alami (fitri), seperti keadaan
postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan dari
keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugerah
itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab di balik
penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi.
(2)
dapat diusahakan (kasbi), seperti bagaimana mendayagunakan postur tubuh yang
gemuk dalam bekerja atau berkarier, bagaimana memfungsikan karakter agresif, dan
sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya secara
optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Tanda
kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala
kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan
diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan seperti cinta kepada sesama
saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari dan Muslim),
sikap saling membantu,asah, asih, dan asuh. Firman Allah SWT:
’Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)
Keempat, adanya
kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. artinya, kesehatan mental
seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan
yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka
jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada
Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik menyebabkan
pemeliharaan kesehatan mental. Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab,
baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan
kematangan diri seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
Keenam,
memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara
memberikan sebagian kekayaan dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya
kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung
segala risiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya
agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kedua persoalan
ini dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab apa yang dimiliki menusia,
baik berupa jiwa-raga atau kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT semata. Sebagai
amanah, apabila seseorang menerimanya dalam kondisi baik, maka tidak boleh
disia-siakan atau mensikapi dengan sikap yang meledak-ledak sehingga mengganggu
stabilitas emosi, melainkan digunakan untuk kemashalatan di jalan Allah. Namun
apabila diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak boleh mengumpat-ngumpat,
menyikapi secara apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya. Sikap yang
seharusnya dilakukan adalah menerima dengan baik dan berusaha seoptimal mungkin.
Ketujuh,
kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi
sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap sebagai tanda
kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila
ia ditimpa musibah maka yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan
rizki maka yang lain ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap
saling curiga, buruk sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan
yang demikian itu maka hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing di
lingkungannya sendiri, dan hidupnya mendapatkan simpati dari lingkungan
sosialnya.
Kedelapan,
memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan
yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan,
kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental,
sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan kegilaan.
Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah:
“bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah
untuk akhiratmu seakan-akan engkau nati esok hari.”
Kesembilan, adanya
rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah)
dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan
dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses,
telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dikap penerimaan
nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu dipandang dari
sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya.
Kepuasan
(satisfaction) merupakan salah satu suasana batin seseorang yang secara umum
dapat disebabkan oleh beberapa faktor dalam memasuki semua aspek kehidupan. Kepuasan
adalah suatu kondisi kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah mencapai
satu tujuan atau sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang setelah
ia memuaskan satu motif.20 Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya perasaan
senang dan sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan motif
dicapai. Davis bersama Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan dan
sikap individu tentang menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang
bersumber dari seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa
lalu yang membentuk harapan.
Kriteria
kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya
kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu kebutuhan meta-material,
seperti kebutuhan spiritual. Menurut teori Abraham Maslow, hirarki kebutuhan
tersebut digolongkan atas dua taraf, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar
(basic needs), yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan
ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan
(meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti
keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.
Tanpa
menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial, terutama yang dikembangkan
dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan adanya keridhaan dari Allah SWT.
Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan
diperoleh seseorang kecuali ia beraktivitas secara baik, benar, jujur, dan
mentaati segala aturan. Dengan ridha Allah pula ia mendapatkan kepuasan dari
aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Tanda-tanda
kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah).
Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra
diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling
kasih- mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan
pertikaian.
BAB III
PENUTUP
Istilah
Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa
Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe
yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
kesehatan mental.
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhammad Mahmud Mahmud,23 menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental:
pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari segala neurosis (al- amradh al-ashabiyah) dan psikosis
(al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),
Terdapat
tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan
mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua,
metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam
dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode
pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang
berkaitan dengan prinsip- prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan
kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral
atau etika.
Metode
imaniah akan membentuk karakter Rabbani, karakter Maliki, karakter Qurani, karakter
Rasuli, karakter yang berwawasan dan melihat ke masa depan dan karakter
takdiri. Metode Islam dapat membentuk karakter muslim yang mendorong seseorang
untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang
merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Sedangkan tahapan Ihsaniah,
dibentuk dalam tiga tahapan yaitu: Tahapan permulaan (al-bidayah), Tahapan
kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat), dan Tahapan merasakan
(al-Muziqat).
DAFTAR
PUSTAKA
Bastaman, H.
D. (1995). Integrasi psikologi dengan Islam, menuju psikologi Islami.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Daradjat,
Zakiah. (1982). Islam dan kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung.
Godam64.
(2007). Hal / Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Manusia, Internal Dan
Eksternal - Psikologi. Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.19 pm dari http://organisasi.org/hal-faktor-
yang-mempengaruhi- kesehatan-mental- manusia-internal-dan- eksternal-psikologi
Hasyim, M. F.
(2008). Agama dan kesehatan mental. Diakses tanggal 4 November 2009 pukul
9.46 pm dari http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-
kesehatan-mental/
Kesehatan
Mental. Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.13 pm dari http://www.wattpad.com/109080-kesehatan-
mental
Mujib, Abdul.
(2002). Nuansa-nuansa psikologi Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rz Mawardi,
Imam. (2008). Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian
1). Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.37 pm dari http://mawardiumm.blogspot.com/2008/05/kesehatan-mental-
dan-dinamika.html